Rabu, 16 Oktober 2013

RUANG SATU METER

        Pukul 17.20 aku sudah berdiri di depan kantor menunggu angkutan umum menuju pangkalan bus yang biasa aku naiki. Namun, jum’at sore selalu macet. Kendaraan yang berjejer hanya bergerak beberapa senti saja. Ku lirik lagi jam tanganku, rasanya tidak mungkin terus menunggu. Aku pun melangkahkan kaki pelan, dengan berjalan pasti akan lebih cepat sampai saat keadaan seperti ini.
“Sarah !” Aku menoleh ketika ku lihat Radit berlari kecil menghampiriku.
“Baru pulang juga, Dit ? Biasanya jam 5 teng langsung go. Hehe,” Dia tersenyum sambil mengatur nafasnya.
“Biar gak punya hutang kerjaan di senin, jadi aku kerjain semua hari ini. Kamu mau jalan aja kan ? Gak mungkin banget kita nunggu angkot kalo macet gini ya .”
“Iya, senin sama jumat itu gak berharap deh jalanan luang”. Kami tertawa renyah bersama,  berjalan beriringan. Sesekali kelakson mobil dan motor bersahutan. Jalanan semakin padat. Sementara senja semakin dekat.
       Aku mengikuti langkah Radit melalui jalan setapak yang belum pernah aku lalui. Pandangan mataku tak henti mengamati daerah ini, dari satu gang ke gang lain. Sangat kontras dengan apa yang biasa ku lihat, bahkan bisa dilihat dari tempat kami berdiri saat ini. Kawasan perkantoran yang megah, gedung-gedung tinggi dengan taman kecil yang indah. Tapi disini, bahkan menghirup udara yang bersih saja sulit. Bau tidak sedap menyerebak. Rumah penduduk yang bersisian begitu rapat. Saling berhadapan, hanya menyisakan jarak satu meter untuk jalan. Ruang kecil itu tempat berlalu lalang. Untuk melewatinya saja harus berbagi jalan, terutama apabila ada sepeda motor yang melaju. Di sudut-sudut gang yang gelap masih terselip beberapa rumah mungil. Sementara tumpukan sampah dan kendaraan yang terpakir seakan berebut lahan.
“Rah, ga apa-apa kan lewat sini ?”
“Iya, Dit. Yang penting bisa cepet sampai. Kamu sering lewat jalan ini ?”
“Setiap hari aku sama Mas Firman lewat sini. Pasti kamu heran ya sama daerahnya ?” Radit seakan menebak apa yang ada di pikiranku. Dia memperlambat langkahnya, mengimbangi aku yang berjalan tak terlalu cepat. Aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaannya. Sekilas ia tersenyum, “Daerahnya memang seperti ini Sarah. Jika melihat keadaan disini, mengingatkan kita kembali bahwa bersyukur itu harus dilakukan. Kita masih beruntung bisa menghirup udara yang bersih, masih ada beberapa pepohonan hijau. Dan tidak sesempit ini.” Radit berbicara setengah berbisik. Mungkin ia menjaga perasaan orang-orang yang ada di sepanjang gang ini. Ada balita, anak-anak, remaja, dan orang tua. Semua sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang sedang merokok, memandikan ayam, mencuci pakaian, memilah sayuran, ada pula anak perempuan yang menangis karena es yang baru dibelinya tumpah terkena anak laki-laki yang berlari diikuti beberapa anak-anak lain dibelakangnya. Aku tak mengerti apa yang mereka kejar. Lagi-lagi aku mengangguk. 
       Pikiranku menerawang, teringat rumah sederhana ku di daerah Bogor. Tidak bagus, tetapi tidak sepadat ini. Masih banyak pepohonan hijau yang berseri, dan mudahnya memanen buah-buahan ketika sudah musimnya. Anak-anak pun tidak kesulitan mencari tempat untuk bermain. Sedangkan disini, ku lihat anak-anak memadati lahan kosong. Tidak luas, tapi bagi mereka tentu saja itu lebih dari cukup dari pada ruang satu meter di dekat rumah. Mereka bermain dengan cerianya. Walaupun geraknya tidak leluasa, karena di lahan tersebut terlihat pula beberapa rongsokan dan bebatuan kecil.
“Kamu bernar, Dit. Dari sesuatu yang besar, selalu ada bagian-bagian kecil di dalamnya. Begitu juga dengan ini.”
“Tapi bagian kecil yang ini seakan tertutup oleh kemegahan di luarnya. Kamu pasti sebelumnya tahu tentang keadaan ini, permukiman kumuh di tengah hingar bingarnya Jakarta. Tapi mungkin, baru sekarang ini kamu merasakan benar-benar ada di lingkungan seperti ini.” Radit meneruskan ucapanku. Teman kerja ku yang satu ini memang pandai. Ia rajin dan terkenal dengan ide-ide cemerlangnya di kantor. Posisinya di perusahaan pun semakin bagus. Sifatnya yang ramah dan supel membuat semua orang di kantor senang padanya. Dan ia pun yang paling baik menerima kehadiranku di divisi marketing saat aku menjadi karyawan baru 5 bulan yang lalu. Aku mengiyakan dalam hati atas semua ucapan Radit. Biasanya hanya di televisi atau surat kabar aku melihat ini, belum pernah melihat langsung, dan kini aku merasakannya.
       15 menit berlalu. Kami telah sampai di pangkalan bus. Kalau saja tadi aku masih menunggu angkot, mungkin baru hanya sampai beberapa meter dari kantor. Bus yang ingin aku naiki sudah terlihat. Sementara bus yang ditunggu Radit belum ada. Aku memutuskan untuk pamit dan meneruskan perjalanan pulang. Sementara Radit masih menunggu. Ia melambaikan tangan dan mempersilahkan aku pulang terlebih dahulu. “Hati-hati ya Sarah !”. Aku melempar senyum, lalu meneruskan langkahku.
       Bus kota jurusan Bogor ini hampir penuh. Tinggal 2 kursi yang kosong di dekat supir. Aku segera menghampirinya. Dan ketika aku melihat supir busnya, aku tertegun. Wanita berumur 40 tahunan yang mengendarai. Raut mukanya jelas menunjukkan kelelahannya. Aku menyandarkan kepalaku. Semoga ibu tidak perlu bekerja sekeras itu. Aku jadi rindu ibu dan keluarga ku, semakin ingin cepat pulang. Sang supir menyeka peluh dengan handuk kecilnya. Sementara itu, bus perlahan melaju. Mengeluarkan asap tebal sumber polusi. Aku memejamkan mata. Mencoba meresapi segala yang ku lihat sore ini.

Selasa, 01 Oktober 2013

Suara Pohon Kering


Kami tercipta tanpa pita suara, tanpa mulut
Sahabat, ingin sekali kami mengadu
Atas panasnya Sang Api
Yang meniadakan keindahan kami

Sahabat, ingatkah engkau ?
Ketika tubuh kami rindang
Hijau mempesona
Teduh menenangkan
Kami rindu saat-saat itu

Perih ku lihat kawanku
Kering, hangus, sungguh aku menangis
Dan ternyata aku pun tak berbeda

Sahabat, keindahan kami telah sirna
Bersamaan asap yang membumbung di udara
Tak lagi meneduhkan
Kini, kami hanya sebuah pohon kering
Yang tak lagi menghijaukan bumi