“Sarah !” Aku menoleh ketika ku lihat Radit berlari kecil
menghampiriku.
“Baru pulang juga, Dit ? Biasanya jam 5 teng langsung go. Hehe,”
Dia tersenyum sambil mengatur nafasnya.
“Biar gak punya hutang kerjaan di senin, jadi aku kerjain semua
hari ini. Kamu mau jalan aja kan ? Gak mungkin banget kita nunggu angkot kalo
macet gini ya .”
“Iya, senin sama jumat itu gak berharap deh jalanan luang”. Kami
tertawa renyah bersama, berjalan
beriringan. Sesekali kelakson mobil dan motor bersahutan. Jalanan semakin
padat. Sementara senja semakin dekat.
Aku mengikuti langkah Radit melalui jalan setapak yang belum pernah
aku lalui. Pandangan mataku tak henti mengamati daerah ini, dari satu gang ke
gang lain. Sangat kontras dengan apa yang biasa ku lihat, bahkan bisa dilihat
dari tempat kami berdiri saat ini. Kawasan perkantoran yang megah,
gedung-gedung tinggi dengan taman kecil yang indah. Tapi disini, bahkan
menghirup udara yang bersih saja sulit. Bau tidak sedap menyerebak. Rumah
penduduk yang bersisian begitu rapat. Saling berhadapan, hanya menyisakan jarak
satu meter untuk jalan. Ruang kecil itu tempat berlalu lalang. Untuk
melewatinya saja harus berbagi jalan, terutama apabila ada sepeda motor yang
melaju. Di sudut-sudut gang yang gelap masih terselip beberapa rumah mungil.
Sementara tumpukan sampah dan kendaraan yang terpakir seakan berebut lahan.
“Rah, ga apa-apa kan lewat sini ?”
“Iya, Dit. Yang penting bisa cepet sampai. Kamu sering lewat jalan
ini ?”
“Setiap hari aku sama Mas Firman lewat sini. Pasti kamu heran ya
sama daerahnya ?” Radit seakan menebak apa yang ada di pikiranku. Dia
memperlambat langkahnya, mengimbangi aku yang berjalan tak terlalu cepat. Aku
hanya mengangguk menanggapi pertanyaannya. Sekilas ia tersenyum, “Daerahnya memang
seperti ini Sarah. Jika melihat keadaan disini, mengingatkan kita kembali bahwa
bersyukur itu harus dilakukan. Kita masih beruntung bisa menghirup udara yang
bersih, masih ada beberapa pepohonan hijau. Dan tidak sesempit ini.” Radit
berbicara setengah berbisik. Mungkin ia menjaga perasaan orang-orang yang ada
di sepanjang gang ini. Ada balita, anak-anak, remaja, dan orang tua. Semua
sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang sedang merokok, memandikan
ayam, mencuci pakaian, memilah sayuran, ada pula anak perempuan yang menangis karena es
yang baru dibelinya tumpah terkena anak laki-laki yang berlari diikuti beberapa anak-anak lain dibelakangnya. Aku tak mengerti apa yang mereka kejar. Lagi-lagi aku mengangguk.
Pikiranku menerawang, teringat rumah sederhana ku di daerah Bogor. Tidak bagus, tetapi tidak sepadat ini. Masih banyak pepohonan hijau yang berseri, dan mudahnya memanen buah-buahan ketika sudah musimnya. Anak-anak pun tidak kesulitan mencari tempat untuk bermain. Sedangkan disini, ku lihat anak-anak memadati lahan kosong. Tidak luas, tapi bagi mereka tentu saja itu lebih dari cukup dari pada ruang satu meter di dekat rumah. Mereka bermain dengan cerianya. Walaupun geraknya tidak leluasa, karena di lahan tersebut terlihat pula beberapa rongsokan dan bebatuan kecil.
Pikiranku menerawang, teringat rumah sederhana ku di daerah Bogor. Tidak bagus, tetapi tidak sepadat ini. Masih banyak pepohonan hijau yang berseri, dan mudahnya memanen buah-buahan ketika sudah musimnya. Anak-anak pun tidak kesulitan mencari tempat untuk bermain. Sedangkan disini, ku lihat anak-anak memadati lahan kosong. Tidak luas, tapi bagi mereka tentu saja itu lebih dari cukup dari pada ruang satu meter di dekat rumah. Mereka bermain dengan cerianya. Walaupun geraknya tidak leluasa, karena di lahan tersebut terlihat pula beberapa rongsokan dan bebatuan kecil.
“Kamu bernar, Dit. Dari sesuatu yang besar, selalu ada
bagian-bagian kecil di dalamnya. Begitu juga dengan ini.”
“Tapi bagian kecil yang ini seakan tertutup oleh kemegahan di
luarnya. Kamu pasti sebelumnya tahu tentang keadaan ini, permukiman kumuh di
tengah hingar bingarnya Jakarta. Tapi mungkin, baru sekarang ini kamu merasakan
benar-benar ada di lingkungan seperti ini.” Radit meneruskan ucapanku. Teman
kerja ku yang satu ini memang pandai. Ia rajin dan terkenal dengan ide-ide
cemerlangnya di kantor. Posisinya di perusahaan pun semakin bagus. Sifatnya
yang ramah dan supel membuat semua orang di kantor senang padanya. Dan ia pun
yang paling baik menerima kehadiranku di divisi marketing saat aku menjadi
karyawan baru 5 bulan yang lalu. Aku mengiyakan dalam hati atas semua ucapan
Radit. Biasanya hanya di televisi atau surat kabar aku melihat ini, belum
pernah melihat langsung, dan kini aku merasakannya.
15 menit berlalu. Kami telah sampai di pangkalan bus. Kalau saja
tadi aku masih menunggu angkot, mungkin baru hanya sampai beberapa meter dari
kantor. Bus yang ingin aku naiki sudah terlihat. Sementara bus yang ditunggu
Radit belum ada. Aku memutuskan untuk pamit dan meneruskan perjalanan pulang.
Sementara Radit masih menunggu. Ia melambaikan tangan dan mempersilahkan aku
pulang terlebih dahulu. “Hati-hati ya Sarah !”. Aku melempar senyum, lalu
meneruskan langkahku.
Bus kota jurusan Bogor ini hampir penuh. Tinggal 2 kursi yang
kosong di dekat supir. Aku segera menghampirinya. Dan ketika aku melihat supir
busnya, aku tertegun. Wanita berumur 40 tahunan yang mengendarai. Raut mukanya
jelas menunjukkan kelelahannya. Aku menyandarkan kepalaku. Semoga ibu tidak
perlu bekerja sekeras itu. Aku jadi rindu ibu dan keluarga ku, semakin ingin
cepat pulang. Sang supir menyeka peluh dengan handuk kecilnya. Sementara itu,
bus perlahan melaju. Mengeluarkan asap tebal sumber polusi. Aku memejamkan
mata. Mencoba meresapi segala yang ku lihat sore ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar